Rabu, 29 November 2017

Siksa Hujan

Dalam setiap hujan deras, aku bisa mendengar jeritan, tangisan, desahan, rintihan, bahkan teriakan kesakitan. Itulah kenapa aku benci hujan deras. Bagiku hujan deras itu kotor, air yang turun itu berbau busuk.
Tahukah kalian siapa yang kudengar berteriak dalam hujan deras? Orang mati.

Dalam hujan deras aku bisa mendengar mereka, setiap siksaan yang mereka dapatkan terlarut dalam setiap tetesan, dan pori-poriku menyerapnya. Rasanya sangat tak nyaman.

Menangislah Untukku...!!!

Aku pernah membagi jiwaku dengan Sang Iblis. Sejak saat itu seekor makhluk buas merasuki ragaku. Berkali-kali tubuhku mengerang terluka, bersimbah darah, dan terukir sayat. Hatiku perlahan menghitam dan membusuk. Tapi setelah bertahun-tahun, kini kusadari akulah iblis itu dan aku berbagi jiwa dengan lelaki pecundang yang herannya... sampai saat ini dia masih bertahan.

Menangislah penghuni langit karena kalian telah membalutku dengan siksaan dan kesengsaraan! Itu pun jika kalian ada!

Aku selalu disalahkan atas penderitaan yang dia alami. Namun tak jarang dia merengek padaku atas kekuatanku, kepuasanku, gairahku, dan naluri kebinatanganku. Menangislah penghuni langit karena aku yang dikurung dalam lorong gulita dengan lautan darah membanjiri setiap nadi! Tapi aku akan terus mengotori darahnya, aku akan terus menghisapnya.

Menangislah penghuni langit karena kalian telah menciptakanku di lingkungan liar, melahirkanku dari jiwa sejenisku yang penuh penderitaan!

Aku makhluk kotor dan terhina di dunia ini, karena kalian telah membuangku kemari. Setiap hari aku melihat kekerasan, pembunuhan, sadisme. Aku meresapinya, mengisapnya bagaikan candu. Dan lihatlah aku sekarang, aku semakin tumbuh dengan balutan jiwa-jiwa manusia yang menjerit, berteriak, mengerang, dan mendesah. Teruslah menyiksaku... dan aku akan tumbuh semakin kuat!

Salahkan aku, pukul aku, ludahi wajahku, tendang pantatku! Tanpa kau sadari, akan semakin banyak jiwa-jiwa sepertiku terlahir. Jadi, menangislah wahai penghuni langit, atas kematian yang menjelang. Menangislah untukku, menangislah untuk kebangkitanku, dan menangislah untuk kematian nurani dan peradaban. Menangislah untuk setiap bayi yang terlahir ke dunia, menangislah untuk setiap tawa yang akan kurenggut!

Menangislah untuk setiap ikatan rahim yang terkoyak, untuk ikatan darah yang terputus.

MENANGISLAH UNTUKKU...!!!

Silent Killer

Kita menggorok leher seseorang, darahnya terciprat di dinding. Kita mengecatnya kembali lalu mencuci tangan ke wastafel, kembali ke tempat tidur kita.
Meninggalkan bangkai itu membusuk dengan borok menganga, terkadang menjadi santapan binatang liar.
Di kamar kita yang nyaman, kita mengenakan piyama dan bercermin : Pendosa berbalut kemunafikan raga sempurna, meninggalkan pesakitan di belakang kita.