Kamis, 17 November 2016

Citra Iman

Terbangun hari ini, aku mengenakan jubah dan surban. Aku melangkahkan kaki menuju sebuah bangunan beratap kubah dipenuhi kaligrafi di segala sisi. Di mimbar, seorang lelaki dewasa berjanggut berkoar berapi-api tentang baik dan buruk, surga dan neraka; juga tentang betapa tercelanya si pengikut salib.

Keesokan hari, aku mengunjungi sebuah bangunan megah dengan jendela-jendela besar. Seorang renta berjubah berdiri di mimbar menyampaikan hal yang sama dengan si lelaki berjanggut. Bedanya, ia menyelipkan tentang kesabaran... inspirasi yang ia dapatkan lewat sebotol alkohol.

Tapi sepertinya aku terkagum pada perempuan cantik dengan senyum bibirnya yang menggoda. Mengenakan mantel, ia mengumbar salam dan mengajarkan kebaikan. Namun di malam hari kami bergumul dengan liar, tanpa busana, saling bertukar cairan.

Di lain hari, aku menjumpai mereka dengan dahi terdapat coretan... entah apa. Mereka menghormatiku, namun saat aku berbalik, mereka menistakanku sembari melakukan madat.

Tempi hari aku memutuskan untuk merenung saja dalam kesunyian dan kegelapan... tak perlu memikirkan dunia, toh aku sudah menyembah hewan dan siap dilahirkan kembali dalam wujud apapun... tentunya masih di dunia ini juga.

Ah, maaf... belakangan ini aku bukanlah diriku sendiri. Terbangun di pagi hari dalam tubuh orang lain.

Selasa, 04 Oktober 2016

Dunia Bipolar

Apa yang terjadi saat sebilah pisau beradu dengan kulit? Saat sebilah gunting mengiris tipis? Merahnya dunia tampak manis. Benarkah?

Dibalik merahnya, tersimpan racun cerita kehidupan. Dusta orang tua, keringat pelacur, mani pecundang, dosa pencuri... birahi. Membusuk... mengalir, membanjiri raga, meresap ke dalam relung nurani. Membuat dunia busuk seakan firdaus... semu.

Para belatung memandang sinis pada si Babi... Kotor, jijik, gendut, pendosa. Si Babi berkubang di lumpur surga duniawi, mencibir dan memandang rendah si Anjing.
Si Anjing menjulurkan lidahnya, memangsa para belatung. Si Anjing diperalat si Babi tanpa sadar. Kalian dimana?

Kau memandangku rendah, menilaiku nista, menganggapku hina. Kau dengan nilai-nilai moralitasmu, menghakimiku busuk. Kau dengan etikamu, pengadilan korup, sistem semu. Kau dengan dunia busukmu.

Goreskan sedikit bilah pisau di lenganmu, renungkan saat kemunafikan dunia mengalir keluar. Aroma dosa-dosamu menguap, masa lalumu tak pernah pergi. Perlahan bibirmu mengering, dahaga akan kenikmatan sejati. Bukan omong kosong, tak ada yang semu di duniaku.

Semua ada dalam kepalamu. Pejamkan mata, masuklah ke duniaku.

Akulah kegelapan, akulah asalmu... maka kembalilah padaku, anak-anakku! Akulah si kambing hitam atas kebobrokan nuraniku. Sisi gelapku yang akan memberimu cahaya, membuatmu lebih kuat.

Aku tak akan diam saat kau tak mampu menopang beban kehidupan penuh omong kosong ini. Memohonlah padaku akan kenikmatan duniawi sejati. Memohonlah saat ragamu haus akan birahi liar. Memohonlah untuk membebaskanmu dari pengkhianatan nurani. memohonlah untuk kegelapan sejati, dunia tanpa batas kemunafikan.

Memohonlah, Anjing!

Iman

Horor, teror, sadomasokis, psikosis,... neurosis. Tak ada yang lebih indah dari ini.

Kita mempertahankan jiwa kita mati-matian, padahal sesungguhnya kita hanya mempertahankannya untuk diambil oleh iblis dan kejahatan. Kita tak rela kehilangan jiwa kita, tanpa kita sadari kita justru menuju ke lembah kegelapan.

Menjunjung tinggi agama, meneriakkan nama Tuhan, namun berbuat laksana iblis. Yang mana Tuhanmu? Dimana Tuhanmu?

Terkadang fanatisme, cinta, dan kebencian hanya dibatasi oleh sehelai rambut.

Ironis?! Itulah imanmu.

Aku dan Manusia

Di sebuah tempat di antara amarah dan pemikiranku, aku hidup dan berbagi dengan legiun yang biasa disebut : Manusia.

Para prajurit ini memiliki emosi dan nurani yang teraduk-aduk. Mereka berjuang demi dunia yang lebih baik, namun tanpa mereka sadari, jiwa mereka telah kotor oleh tangan dan kemaluan mereka sendiri.

Bagaimana mungkin setan membangun surga? Bagaimana mungkin makhluk serendah manusia memperbaiki dunia?

Saat mereka menyerah dan pasrah, mereka cukup merasa bangga dan nyaman dengan "Dunia Normal" mereka : Dunia dimana mereka bisa makan enak, tidur nyenyak, berwisata, sementara yang lain merayap di jalanan kumuh, mengais sampah, melacurkan diri, menyebar penyakit, dan berjuang melalui teror terburuk sepanjang malam.

Mereka memaki para pejabat, turun ke jalanan atas nama idealisme dan perubahan... padahal mereka tak mampu menyelamatkan jiwa mereka sendiri yang tertindas.

MUNAFIK...!!!

Kamis, 29 September 2016

Tak Tahu Diri

Kita menabur kebencian dan kita menutup mata tentang akibat yang ditimbulkannya. Tanpa sadar kita telah diperalat oleh media dan para pemimpin , serta bajingan yang mengaku diri sebagai patriot.

Media dan pemimpin tak lebih dari sekumpulan pembunuh, penipu dan pembohong licik. Lihatlah apa yang mereka lakukan atas nama kita, membuat korban berjatuhan dan mengadu domba rakyat tolol... Sekali lagi, mereka mengatakan semua keburukan itu dilakukan di atas kepentingan kita, atas nama kebaikan, dan bahkan mengusung ke-Tuhan-an.

Kita hanya duduk, tidur, dan tersenyum saat media menciptakan imej zona nyaman kita aman, padahal teror, pembodohan, dan pembunuhan terus berlanjut dan akan terus berlangsung selamanya. Media menjual kepalsuan, membangun opini publik, dan membungkam kebenaran sejati.

kita mengambil secuil api neraka dan memercikkannya di muka bumi. Kini rasakan akibatnya. Tuhan telah mengutuk kita karena membuat neraka di bumi.

Korban telah berjatuhan dan jumlahnya terus meningkat. Keluarga dan kerabat akan menuntut balas akan derita, intimidasi, dan diskriminasi yang mereka rasakan hingga bertahun-tahun. Akan tiba saatnya kebencian yang kita tabur akan kembali pada kita di malam hari. Berani-beraninya kalian berdoa saat kalian menciptakan neraka kalian sendiri?!

Tuhanmu telah mengabaikanmu. 

Demokrasi Mati

Berjuang atas nama agama; Pasukan pembebasan haus darah. Indoktrinasi dengan senjata, menghasut demi tujuan "mulia".

Hidup dengan kebohongan di lain hari. Wajah kemunafikan memperkosa demokrasi. Kiamat tinggal menghitung hari.

Kita terjebak di lubang neraka dunia, hingga kita menggali kubur kita sendiri. Mendewakan manusia atas nama agama, dan merekalah yang kita perjuangkan hingga mati.

Sekarang kau punya alasan untuk mati.

Munafik Memang!

Konon diceritakan, dahulu prajurit sejati menghunus pedang dan menyembelih lawan mereka yang pemberani. Bertempur gagah berani bersimbah darah. Kini, aku saksikan prajurit bersembunyi dari balik mesin-mesin perang mereka.

Teknologi menciutkan kemaluan mereka, meledakkan kepala wanita dan anak-anak. Meruntuhkan bangunan tempat orang tua dan para sekarat beristirahat.

Wanita jalang, kaum religius, pejuang, hingga si awam pun terlaknat oleh racun biologis dan kimia. Garis depan kini hanya sejarah dan legenda.

Bom-bom dijatuhkan oleh para penikmat pelacur. Menyebut nama Tuhan lalu bertindak brutal... Munafik memang! Deru mesin-mesin perang menghantui jalanan, lautan, dan angkasa. Tak ada tempat untuk sembunyi, malaikat kematian hanya sejengkal jarak. Letusan senjata dan desingan peluru menteror manusia, timah-timah panas menghujam dada, serpihan baja menghujam raga.

Si kecil terbungkus kain kafan, mayat wanita terlentang telanjang.

Monyet-monyet berdasi duduk bersama, mengklaim diri juru selamat. Kalimat-kalimat busuk terucap, mengambil simpati umat bodoh. Merekalah penjagal nan laknat, para agen kiamat... Munafik memang!

Lelaki-lelaki kecil mengangkat senjata, tangan-tangan para perempuan cilik bersimbah darah. Berharap bertemu keluarga atau malah meregang nyawa.

Di mana kita? Menikmati indah dunia di maya atau media massa. Menangis dan teriris sementara, namun esok hari kembali menikmati surga dunia... Munafik memang!